Bangsa Indonesia mempunyai banyak sekali
cerita rakyat. Salah satu cerita rakyat adalah cerita si Malin Kundang
yang berasal dari daerah Sumatera Barat. Legenda ini merupakan legenda
yang cukup menyeramkan di Indonesia. Di akhir cerita, kehidupan Malin
Kundang yang sudah sukses di pengembaraannya harus berakhir menjadi
seonggok batu karena dikutuk ibunya yang kecewa. Batu, sebuah benda yang
menurut Clara Evi Citraningtyas (2004) merupakan benda mati yang
membelenggu, tidak produktif, keras, dan dingin.
Sejak dahulu, Bandung terkenal sebagai
salah satu gudang pesepakbola handal yang mampu bergoyang di panggung
sepakbola nasional. Para pesepakbola berbakat tersebut bermuara ke satu
tempat, Persib Bandung. Di masa lalu, anak-anak Bandung berhasil membuat
lawan gugup sebelum bertanding, merajai pesepakbolaan nasional, dan
membuat daerahnya bangga dengan raihan beberapa gelar. Bagi mereka,
Persib adalah sosok seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan
anak-anaknya hingga dewasa dan berhasil dalam kehidupan.
Namun, keadaan masa lalu tersebut sangat
berbeda dengan masa sekarang. Belasan tahun sudah kota bandung tidak
lagi disinggahi piala kehormatan dan jalan-jalan kota ini sepertinya
merindukan berlalunya iringan kendaraan berkonvoi saat para pemain
berpawai memperlihatkan piala yang mereka raih. Kegagalan Persib
menorehkan prestasi, diikuti juga dengan kegagalan sistem pembinaan yang
dahulu sangat diagungkan. Para pemain muda sangat sulit menembus
barisan inti tim Maung Bandung dan para bos di klub lebih memilih
pemain luar Bandung. Orang menyebut mereka pemain bintang, walaupun
label kebintangan mereka bersinar hanya di Indonesia saja. Anak-anak itu
kehilangan sosok ibu, yang melindungi, mengayomi, dan menyalurkan bakat
besar ke arah yang benar.
Walaupun memainkan pemain luar bukanlah
suatu kesalahan terutama di modern football era seperti ini, namun ada
yang terkhianati dalam proses pemilihan pemain di Persib saat ini.
Dengan dalih mengejar target juara, para pemain muda asli Bandung harus
terlempar dari posisi inti. Pemain yang bertahan di Persib Bandung
seperti Rizky Bagja, M Agung, Sigit, Jajang Sukmara, dll harus rela
menjadi pemain pelapis. Kecuali Shahar Ginanjar yang dalam pertandingan
terakhir mendapat tempat di tim utama, nama-nama lain sangat jarang
mendapat menit bermain. Sosok ibu yang berpaling dari rasa cinta
anak-anaknya.
Saat ini Persib Bandung sangat bernafsu
mengejar juara setelah berpuasa gelar hampir 17 musim lamanya. Namun
nafsu ini membutakan bahwa anak-anak Bandung adalah pemain yang berbakat
dan mampu berbicara di kancah nasional. Sekali lagi penulis katakan
bahwa memakai pemain daerah lain bukanlah merupakan kesalahan dan tidak
ada hubungannya secara langsung dengan raihan gelar juara. Tapi, kata
apa yang dapat menggambarkan fakta bahwa menyiakan bakat dan keinginan
pemain didikan sendiri selain kata pengkhianatan?
Marek Janota adalah pelatih legendaris
untuk Persib. Marek dianggap telah meletakan dasar sepakbola yang benar
untuk anak-anak muda Bandung di awal era 80-an. Karena pondasi tim yang
dibuat sangat kokoh, maka Persib berjaya sampai pertengahan 90-an. Di
masa ini, pembentukan pondasi seperti itu sepertinya sudah dianggap
usang dan kuno. Apalagi tim Maung Bandung adalah tim kaya yang bisa
mengontrak pemain Indonesia terbaik mana saja, maka Persib pun rela
meninggalkan pondasi yang sudah dibuat. Pembentukan tim yang selalu
instant, tanpa proses, tanpa pondasi yang kuat, hanya membuat tim ini
….. (pembaca dapat mengisinya sendiri).
Pemain Bandung saat ini masih
diperhitungkan di kancah pesepakbolaan nasional, dengan syarat mereka
mendapat menit bermain yang cukup. Musim lalu, Jajang Sukmara dan
Budiawan mampu menunjukan kemampuannya saat dipercaya bermain di atas
lapangan hijau. Coba tengok catatan gol yang bersarang di gawang Persib
di 3 games tandang terakhir. Tiga pemain Bandung mampu merobek gawang
Persib untuk menyumbang gol dan kemenangan timnya masing-masing.
Tercatat nama Ferdinand Sinaga (yg memberi assist gol bunuh diri
Supardi), Jajang Mulyana, dan Tantan adalah aktor yang membuat sang ibu
menangis. Bagi sebagian bobotoh, mungkin mereka adalah sosok Malin
Kundang yang mendurhakai ibunya, Persib.
Rabu (13/3) besok, Persib akan melakoni
laga “tandang” istimewanya melawan Pelita Bandung Raya (PBR). Mengapa
istimewa? Karena tim ini bermarkas di Bandung dan berisi anak-anak kota
Bandung yang lumayan banyak. Tercatat nama Eka Ramdani, Munadi, Edi
Hafid, Rendi, Asep Mulyana, dan Jajang ada di tim tersebut. Walaupun
prestasi mereka tidak lebih baik dari Persib, namun laga ini bisa
menjadi laga yang cukup panas dan berpotensi memberikan kejutan. Karena
mereka biasanya selalu bermain dengan semangat berlipat bila berhadapan
dengan “ibunya” sendiri. Semangat menunjukan diri pantas membela klub
yang mereka cintai.
Bisa jadi, gawang Persib yang bertindak
sebagai “tamu” kembali bobol untuk keempat kali beruntun oleh
anak-anaknya sendiri. Dan mungkin dalam cerita Persib ini, Malin Kundang
lah yang akhirnya mengutuk sang ibu menjadi batu.
Penulis adalah bobotoh biasa yang
kebetulan menjadi wartawan Simamaung.com, ber-akun twitter di:
@hevifauzan. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak
mewakili redaksi.
Referensi Tambahan:
Citraningtyas, Clara Evi. (2004). Breaking a Curse Silence: Malin Kundang andTransactional Approaches to Reading in Indonesian Classrooms – an empirical study. Ph.D. thesis. Macquarie University.
Citraningtyas, Clara Evi. (2004). Breaking a Curse Silence: Malin Kundang andTransactional Approaches to Reading in Indonesian Classrooms – an empirical study. Ph.D. thesis. Macquarie University.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar